Senin, 17 September 2018

Sandiaga Uno Akan Menjadi Ulama Jadi Ada Masalah

Cerita Humor Dan Lucu - Dengan cara terminologi, penyematan status ulama ke Sandiaga Uno tidak salah sekali-kali. Namun mengapa terdapat banyak yg tidak setuju ya?

Geger penyebutan “ulama” buat cawapres (calon wakil presiden) Sandiaga Salahuddin Uno muncul. Gara-garanya Wakil Ketua Majelis Syuro PKS, Hidayat Nut Wahid, menyaksikan eks Wakil Gubernur DKI Jakarta ini menjadi pribadi ulama walau tidak menyandang titel “Kiai Haji” seperti biasanya.
Sandiaga Uno Akan Menjadi Ulama Jadi Ada Masalah

Karena memang beliau tidak belajar di komune tradisionil keulamaan


Penyebutan buat Sandiaga ini bukan yg pertama. Bila netizen yg dirahmati Allah ingat, Sohibul Iman, yg Presiden PKS, juga menyebutkan Sandiaga menjadi seseorang santri.

“Saya dapat jelaskan saudara Sandiaga Uno menjadi pribadi santri di jaman post-islamisme, ” kata Sohibul.

Melekatnya status “ulama” serta “santri” buat Sandiaga ini selekasnya diprotes oleh netizen. Hedeh, basic netizen kagak sempat belajar apa-apa. Jaman pribadi sekaliber Hidayat Nur Wahid sama Sohibul Iman kalian tidak setuju sich? Meskipun sebenarnya kan memang Sandiaga itu betulan ulama.

Sebelum mengulas perihal pelekatan status “ulama” pada Sandiaga, bila netizen sempat juga ingat, dahulu Tommy Soeharto sempat juga dapatkan titel “gus” juga lho. Ingin yg lebih sangar lagi? Oh, ada. Setya Novanto, iya pribadi sakti yg dapat sulapan melampaui kekuatan Pak Tarno serta sukses buat penjara menjadi sekelas hotel berbintang, sempat pula disematkan status “kiai”.

Semat-menyematkan titel status keagamaan ini memang wajar di Indonesia. Ditambah lagi bila yg disematkan itu seseorang petinggi serta kebetulan sesaat lagi ingin naik panggung ke penentuan umum. Bila dahulu, dalam perkara Gus Tommy serta Kiai Setnov, kedua-duanya benar-benar lagi ingin ancang-ancang buat Pileg 2019 besok. Gus Tommy selanjutnya melalui jalan Partai Berkarya, dan Kiai Setnov melalui jalan KPK.

Kembali lagi bab Sandiaga. Dengan cara terminologi simple, penyematan “ulama” ke Sandiaga tidak salah-salah sangat sich. Ya pemicunya, seperti yg netizen juga telah mengetahui, kata tunggal dari “ulama” ialah kata “alim” yg di Indonesia miliki beda arti dengan asal-usul kata ‘alim dari Bhs Arab. Nah, agar mudah, kita dapat menggantungkan argumentasi ini dari kata alim (Bhs Indonesia) dengan ‘alim (Bhs Arab) lebih dahulu biar lebih jelas.

Alim di Indonesia memang terlanjur dimaknai sesuai sama saleh, alias pribadi yg diyakini miliki kedekatan spiritual dengan Tuhan. Dan ‘alim yg bila diambil dari kata basic ‘alima miliki makna jelas.

Bila ingin mengerti dari linguistiknya Bhs Arab, kata ini kelak menjadi miliki beberapa turunan (baca : tasrif) yg beberapa miliki arti sama pada Bhs Arab dengan Bhs Indonesia. Misalnya seperti dari ‘alima menjadi alim, pengetahuan, allamah, ta’lim.

Sebab saya tengah tidak membuka kelas pengetahuan shorof (pengetahuan buat mengetahi pergantian skema frasa dalam Bhs Arab) serta saya juga bukan “ulama” dibidang shorof, jadi cuman utarakan selintas saja agar basic penyebutan ulama buat Sandiaga ini dapat disaksikan ya tidak salah-salah sangat.

Menjadi disaat ‘alim dimaknai menjadi pribadi yg tahu atau jelas, jadi menyebutkan Sandiaga menjadi ‘ulama jelas bukan satu kekeliruan. Sebab memang Sandiaga ialah pakar atau ilmuwan dalam sektor yg dia kuasai. Contohnya dalam sektor ekonomi, Sandiaga ialah ‘ulama ekonomi, alias ilmuwan ekonomi. Sandiaga itu ‘alim alias jelas perihal kesulitan itu.

Nah, bila dengan cara terminologi, beres udah, Hidayat Nur Wahid memang tidak salah sekali-kali.

Kasusnya, geger bab sematan ini masih berlangsung. Meskipun sebenarnya netizen Indonesia yg udah jago banget dalam berbahasa Arab waktu terakhir ini, tahu benar kalau ‘ulama yg di jelaskan buat Sandiaga ini tidak salah.

Lantas apakah kasusnya?

Ya sebab dari antropologis, ‘ulama di Arab dengan ulama di Indonesia itu beda. Sesederhana itu.

Pergantian serta ketaksamaan arti dengan cara antropologis ini tidak di pandang terutama oleh Hidayat Nur Wahid, hingga buat netizen menjadi terbelah. Pada yg setuju dengan sematan ini, dengan yg kontra dengan sematan ini.

Walau sesaat alim serta ulama miliki arti yg sama dengan cara terminologi pada Bhs Indonesia dengan Bhs Arab, namun pengakuan ini menjadi penuh pembicaraan bila arah bacaannya gunakan kacamata antropologis. Ditambah lagi bila ingin ditarik dikit ke histori bagaimana adat pesantren di Nusantara berkembang.

Tidak sama dengan ‘ulama yg di kebudayaan Arab buat menyebutkan seseorang yg berilmu di berapa sektor, di Indonesia penyebutan ulama disematkan cuma buat orang yg berilmu pada satu spektrum saja, yaitu agama. Lah, mengapa hal semacam itu dapat berlangsung?

Ya gak berbeda serta gak bukan sebab pada jaman dahulu, seseorang ulama serta keturunannya lebih miliki akses pengetahuan yg tidak dapat didapat oleh rakyat jelata. Pada jaman itu, pendidikan cuma dipunyai oleh banyak tuan tanah-tuan tanah atau pribadi yg mempunyai pengaruh. Yah, katakanlah orang mempunyai pengaruh dapat dibagi menjadi dua, sebab politik (keturunan raja dan lain-lain) sebab agama (keturunan kiai dan lain-lain) .

Nah, sebab pada jaman begitu belumlah ada pembagian pada pengetahuan agama dengan pengetahuan umum—tidak seperti saat ini yg ada ragam kampus islam serta kampus negeri, jadi semua pengetahuan dipandang sebagai satu kesatuan yg tidak dipisahkan kedua-duanya. Seseorang ‘alim dirasa tahu semuanya, bukan hanya bab akhirat tetapi juga dunia.

Seseorang ulama, akan didatangi oleh penduduk serta ditanyai bermacam ragam kesulitan. Bukan hanya kesulitan fikih atau kasus agama, tetapi juga bab jaman tanam, jaman panen, masalah ternak, bertanya tanggal menikah, bahkan juga sampai tentang nama anak.

Perihal ini memang searah dengan pemikiran Quraish Shihab dalam bukunya Ulama Pewaris Nabi perihal kehadiran diksi ‘ulama dalam Al-Quran yg dimaksud dengan cara eksplisit 2x. Yg pertama menyebutkan kalau ulama dimaksud sebab pemahamannya akan ayat-ayat Allah atau miliki pengetahuan berwujud qur’aniyah, di lain bidang juga miliki kekuatan keilmuan berwujud kauniyah alias sanggup membaca pertanda alam.

Oke, sampai titik ini, andil ‘ulama di Arab dengan ulama di Nusantara tampak tetap sama. Saling ahli di banyak sektor.  Lantas apakah yg buat kedua-duanya beda serta beralih? Ya sebab ada kolonialisme.

Beberapa orang Eropa yg ada ke Nusantara dikit banyak turut “mengajari” nalar-nalar masuk akal ala barat ke penduduk. Lambat laun jadi penduduk Nusantara menjadi memahami ada ketaksamaan pengetahuan yg tidak semua dapat dijawab oleh banyak “ulama” mereka. Atau bila juga dapat dijawab oleh banyak ulama, pengetahuan barat lebih merasa dekat dengan penguasa (Pemerintah Kolonial) .

Pengetahuan moderen ini ujug-ujug mengedit trik berfikir penduduk. Ulama tak lagi dikultuskan tahu semuanya lagi. Beberapa ada yg tetap bertahan yg kita kenal menjadi “santri”, beberapa ada yg tertarik mengerti standard moderen yg dibawa banyak imigran-imigran Eropa itu.

Lantas makin lama banyak ulama tak lagi di pandang miliki semua hal yg dapat menjawab persoalan hidup. Kekuatan ulama selanjutnya menyempit menjadi pada kesulitan agama saja, terutama Islam, ya sebab kolonialisme tidak dapat ngajar bab Islam. Pemaknaan ulama juga selanjutnya dikenali cuma pada “ahli dalam agama Islam” saja seperti yg saat ini kita ketahui biasanya.

Lantas apabila ada yg bertanya, memang kelirunya Hidayat Nur Wahid nyebut Sandiaga menjadi ulama apa itu? Ya sebab beliau tidak gunakan kata ‘ulama tetapi jadi gunakan kata ulama.

Seakan-akan antropologi Islam di Nusantara ini sesuai sama yg ada pada Arab sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dijamin Ngakak Cerita Pendek Sangat Lucu

Dijamin Ngakak Cerita Pendek Sangat Lucu Cerita Humor Dan Lucu - Keseharian Minah pergi ke sungai membersihkan pakaian, satu hari saat...